DetikNTT.Com || Ende – Rencana Pemerintah Kabupaten Ende menjadikan kawasan Ogi di sekitar Bukit Rodja, Kelurahan Rukun Lima, Kecamatan Ende Selatan, sebagai Tempat Pembuangan Akhir (TPA) kembali menuai penolakan keras dari masyarakat dan pemangku ulayat tanah Rodja.
Lokasi Ogi berada di kawasan perbukitan dengan kontur lebih tinggi dari permukiman warga, berjarak sekitar 700–800 meter dari rumah penduduk. Menurut masyarakat, kawasan tersebut juga merupakan jalur banjir yang sewaktu-waktu dapat mengalir hingga ke SMA Mutmainah dan Pu’urere. Hingga kini, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Ende belum melakukan kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) secara resmi terkait rencana pembangunan TPA itu.
Hasan Aidit Rodja, salah satu pemangku ulayat tanah Rodja, menegaskan sikap penolakan saat ditemui di kediamannya, pada hari, Sabtu (29/8/2025).
“Sikap kami jelas, menolak wilayah Kecamatan Ende Selatan dan tanah ulayat embu peja Rodja dijadikan TPA. Penolakan ini sudah kami sampaikan sejak masa Bupati almarhum Ir. Marselinus Petu, dan arsipnya masih tersimpan rapi. Mengapa sekarang di masa kepemimpinan Bupati Yoseph Badeoda muncul lagi ide yang sama?” tandasnya.
Aidit menilai rencana pembangunan TPA Ogi berpotensi merugikan masyarakat karena tidak memenuhi standar teknis.
“Jaraknya terlalu dekat dengan permukiman warga. Sesuai SNI, TPA harus berjarak minimal 1 kilometer dan dilengkapi fasilitas pengelolaan sampah serta zona penyangga yang memadai. Jika pemerintah memaksakan kehendak, kami siap melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran, dan saya sendiri akan memimpinnya,” tegasnya.
Kekhawatiran serupa disampaikan Kartini Ahmad (63), warga RT 002/RW 005, Kelurahan Rukun Lima. Ia menilai lokasi Ogi sangat berisiko terhadap kesehatan dan lingkungan.
“TPA itu lebih tinggi dari permukiman. Limbah cair pasti turun ke sumur warga dan mencemari sumber air bersih. Tanah di sekitar lokasi juga kami gunakan untuk bertanam cabai dan palawija. Kalau tercemar, kami yang pertama kena dampaknya. Jadi meskipun katanya mau pakai teknologi tinggi, kami tetap menolak,” ujarnya.
Senada dengan itu, Samsudin (50), warga Jalan Gajah Mada, juga menolak keras rencana pembangunan TPA tersebut. Ia bahkan mengancam akan memblokir akses jalan menuju lokasi jika pemerintah tetap memaksakan.
“Sejengkal tanah pun tidak akan kami izinkan dijadikan jalan raya. Bupati sebaiknya mencari lokasi lain di kecamatan lain. Sesuai aturan, jarak TPA ke pemukiman minimal 1 kilometer, jangan dipaksakan,” katanya.
Masyarakat menilai, jika rencana pembangunan TPA Ogi dipaksakan tanpa kajian AMDAL yang jelas, dampaknya tidak hanya berupa pencemaran air tanah, tetapi juga potensi meningkatnya penyakit pernapasan akibat debu, bau menyengat, serta penyebaran penyakit oleh lalat, nyamuk, dan tikus.
Atas dasar itu, warga Kelurahan Rukun Lima dan masyarakat Kabupaten Ende pada umumnya berharap Bupati Yoseph Tote Badeoda mendengarkan aspirasi rakyat, mempertimbangkan kembali rencana pembangunan TPA di Ogi, serta mencari solusi alternatif yang tidak merugikan kesehatan dan lingkungan hidup warga.
Penolakan warga ini menegaskan bahwa persoalan lokasi TPA di Ogi masih belum mendapatkan solusi komprehensif dari Pemerintah Daerah, Kabupaten Ende.**)







