DetikNTT.Com || Ende – Status Tadeus Ngga’a sebagai Kopokasa (tua adat) di atas wilayah tanah Potu Panggo Ulu Kolondaru Eko Pu’u Wege versi kepala desa Manulondo, Paternus Bhagi adalah ilegal dan tidak sah, pasalnya 3 (tiga) mosalaki Nuakota yang memiliki otoritas tidak perna mengangkat dan mengukuhkan Tadeus Ngga’a sebagai Kopokasa yang dilakukan pada tanggal 23 Oktober 2021.
Selain tidak mengangkat tiga Mosalaki Nuakota masing- masing, mosalaki Ria Bewa Sao Mewu, mosalaki Sao Bhula dan mosalaki Sao Laki juga tidak perna menghadiri dan merestui acara itu, padahal ke tiga Mosalaki itu adalah pemimpin adat dan pelaksanaan ritual adat yang memiliki otoritas penentu dan berperan penting dalam pelaksanaan ritual –ritual adat seperti pengangkatan seseorang menjadi salah satu sesepuh atau tokoh adat di atas tanah Potu Panggo. Pengangkatan tersebut dilakukan karena ada dugaan faktor tidak suka dengan sosok Laurensius Lau.
Hal tersebut ditegaskan Eramus Yanto Rabu Manggo salah satu cucu mosalaki Dato Reku (Nuakota) saat dikonfirmasi tim media ini pada,( 19/8/2025) sekaligus membantah pernyataan bahwa saat ini Tadeus Ngga’a adalah Kopokasa yang diakui oleh mosalaki saat ini.
Mantan Aktivis PMKRI ini menegaskan, skenario kegiatan pengangkatan Deus Ngga’a yang dilakukan pada tanggal (23/10/ 2021) itu sengaja dilakukan bertepatan dengan hari pernikahan salah satu cucu Laurensius Lau, dimana 3 (tiga) mosalaki Nuakota saat itu hadir di kediaman Laurensius guna mengikuti hajatan pernikahan. Momen itulah digunakan Deus Cs melakukan kudeta terhadap Lorensius sebagai Du’a Ria Nua turunan dari Mamo Reku salah satu anak dari Mamo Wero.
“Yang dilakukan Deus Ngga’a itu adalah kudeta terhadap Laurensius Lau. Pengangkatannya sebagai Kopokasa ini tidak sah dan ilegal karena tidak diangkat dan dikukuhkan oleh 3 mosalaki Nuakota tadi. Kehadiran Hendi dari Nuakota itu atas nama pribadi, tidak sebagai perwakilan mosalaki. Sekarang saya tanya, seorang Hendi datang itu atas nama pribadi atau secara mosalaki. Kalau hadir acara itu secara mosalaki itu salah besar karena mosalaki sekarang ini ada di Mamo Dato Reku yang saat ini turun ke Polce, adik saya anak dari almarhum bapak Antonius Tei. Jadi bapak Antonius Tei ini yang berhak karena dia sudah memberikan kuasa sepenuhnya”. tandasnya.
Yanto kembali mengingatkan bahwa tiga mosalaki di Nuakota berperan sentral untuk menjaga dan mempertahankan tanah Potu Panggo Ulu Kolondaru Eko Pu’u Wege, dan juga sebagai pemimpin perang kalah itu.
Tanah Potu Panggo adalah Benteng yang dibangun saat peperangan dan Mamo Wero yang diberi kuasa untuk menjaga Benteng itu. Ke- 3 mosalaki Nuakota kata Yanto adalah keturunan dari nenek moyang yang berkuasa atau orang pertama yang mendiami wilayah itu dan juga adalah pemimpin upacara adat di wilayah ini juga.
“Dalam melakukan ritual adat yang sah dan sakral, 3 mosalaki ini harus memakai pakian adat antara lain Luka atau Ragi, Semba atau Senai dan Lesu, Ragi yaitu kain hitam bermotif dan hanya digunakan para pria yang dilengkapi dengan luka/selendang pada bahu dan menggunakan lesu yang diikat di kepala”. tandasnya.
Dalam dimensi religius pun kata Yanto, tiga mosalaki Nuakota ini yang mewakili anggota komunitas dalam berhubungan dengan Tuhan mereka, Bapak langit, ibu bumi.” Sehingga ada sebutan Dewa Reta Ngga’e,Du’a Lulu wula, Ngga’e wena tana (Dewa diatas,Tuhan yang dibawah/Tuhan yang diatas Bulan,Tuhan yang dibawah tanah).
Pemberian tanah Potu Panggo Ulu Kolondaru Eko Pu’u Wege oleh Mamo Dato Reku, Mamo Kebhi dan Mosalaki Ria Bewa Sao Mewu kepada Mamo Wero lengkap dengan jabatan “Du’a Ria Nua” memiliki nilai sejarah dan sakral karena diikuti dengan kewajiban/upeti berupa “are wati moke boti” kepada mosalaki Ria Bewa Sao Mewu, Kolu Koe Mosalaki Sao Laki dan Kago Kao yang sebelumnya didahuli dengan “Kondho Ko’o Ranga Pana diatas tanah Potu Panggo ulu kolondaru eko Pu’u Wege.
Yanto sendiri sependapat dengan usulan mosalaki Lisedetu dan Mosalaki Tana Talu Detusoko untuk melakukan ritual khusus “Lai Tanah minu Ra lako” (Makan Tanah dan minum darah anjing segar) diatas tubu musu meminta kekuatan gaib dan leluhur dari 3 mosalaki Nuakota dan Mamo Wero untuk mengungkap kebenaran status Tadeus Ngga’a diatas wilayah tanah Potu Panggo.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, untuk mengungkap kebenaran dan keberadaan Tadeus Ngga’a yang diakui sebagai Kopokasa versi Kades Manulondo Paternus Bhagi maka harus dilakukan sumpah adat La’i tanah Minu Ra Lako” (Makan tanah dan minum darah anjing segar) di tubu musu lodo nda (tempat sakral).
Permintaan tersebut disampaikan Mosalaki Tana Talu-Detusoko,Emanuel Kunu Ndopo kepada media ini pada (8/8/2025) setelah mengikuti pemberitaan di media tentang status dan kedudukan Tadeus Ngga’a sebagai kopokasa yang diakui oleh Mosalaki versi kades Manulondo diatas wilayah tanah Potu Panggo.
“ Sumpah adat ini adalah ritual sakral yang meminta leluhur dari Mamo Dato Reku, Mamo Kebhi mosalaki Ria Bewa Sao Mewu, para arwah dan leluhur dari mamo Wero, pai (panggil semua) Nitu Pai Ju Angi (Leluhur) yang ada di atas tanah Potupanggo lalu melakukan ritual dengan sua “Demi sai-sai kai eo tebo gebo lemo dan merampas status dan kedudukan sesorang yang sah, maka engkau dan seluruh keturunanmu akan mati dan binasa dimakan tanah dan digigit darah anjing tadi”paparnya.
Menurut Eman, pengangkatan Tadeus Ngga’a sebagai Kopokasa jika dilakukan oleh Ata Laki maka itu dianggap tidak sah karena Ata laki tidak memiliki kewenangan melebih Mosalaki.
Dalam struktur adat kedudukan adat wilayah Lio kata Eman Kunu, Mosalaki itu ibarat raja sehingga didalam bangunan rumah adat (sa’o Nggua) disiapkan dibuat tempat khusus (Singgasana) untuk Mosalaki bukan untuk Ata Laki. ( tim)









