Kupang||DetikNTT.com–Kejaksaan Tinggi NTT, Kejaksaan Negeri Flores Timur telah melaksanakan ekspose terkait Permohonan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam perkara atas nama tersangka Karolus K. Sogen alias Olus, yang didakwa melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP. Ekspose ini berlangsung secara virtual melalui aplikasi Zoom. Pada Kamis, 20 Februari 2025 sekitar pukul 07.30 hingga 08.30 WITA bertempat di ruang Restorative Justice (RJ)
Ekspose dipimpin oleh Nanang Ibrahim Soleh, S.H., M.H., Direktur A pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI, serta dihadiri oleh Wakil Kepala Kejati NTT Ikhwan Nul Hakim, S.H., dan Asisten Tindak Pidana Umum Mohammad Ridosan, S.H., M.H., bersama jajaran pejabat di bidang Tindak Pidana Umum Kejati NTT. Pemaparan disampaikan oleh Rolly Manampiring, S.H., M.H., Kepala Kejaksaan Negeri Flores Timur, didampingi jajarannya.
Kasus ini bermula pada Sabtu, 28 Desember 2024, sekitar pukul 10.30 WITA, di rumah Yosep Badin Wulon, Desa Sinar Hadihgala, Kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur. Tersangka Karolus K. Sogen alias Olus terlibat dalam perselisihan dengan korban Yosevina Gunu Sogen, adik kandungnya sendiri, yang berujung pada tindakan penganiayaan.
Akibat kejadian tersebut, korban mengalami benjolan di pipi kanan, luka kemerahan pada bibir atas, serta nyeri tekan, sebagaimana tercantum dalam Visum et Repertum Nomor: RSUD.16/77/XII/2024 tanggal 28 Desember 2024.
Setelah perkara memasuki Tahap II pada 11 Februari 2025, Kejaksaan Negeri Flores Timur memfasilitasi upaya perdamaian antara tersangka dan korban pada 13 Februari 2025 di Rumah RJ Kantor Kejaksaan Negeri Flores Timur. Proses ini dihadiri oleh kedua belah pihak, penyidik, tokoh masyarakat, dan tokoh agama.
Setelah mendengarkan pemaparan dari Kepala Kejaksaan Negeri Flores Timur, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum melalui Direktur A Kejaksaan Agung RI menyetujui penghentian penuntutan dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, sesuai Pasal 5 ayat (1) huruf a Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020.
2. Ancaman pidana dalam perkara ini tidak lebih dari 5 tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020.
3. Telah terjadi perdamaian antara tersangka dan korban, sesuai Pasal 4 ayat (2) huruf g dan Pasal 5 ayat (6) huruf b Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020.
4. Tersangka dan korban memiliki hubungan keluarga (kakak-adik), sehingga perdamaian lebih berorientasi pada pemulihan hubungan kekeluargaan.
5. Masyarakat memberikan respons positif terhadap penghentian penuntutan, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (6) huruf c Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020.
6. Tersangka berperilaku baik dalam kehidupan sehari-hari dan aktif dalam kegiatan sosial.
Dengan terpenuhinya syarat-syarat tersebut, penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif disetujui, dan Kepala Kejaksaan Tinggi NTT akan segera mengeluarkan surat persetujuan RJ-34.
Sementara, Zet Tadung Allo, S.H., M.H., Kepala Kejaksaan Tinggi NTT, menegaskan bahwa keadilan Nuranikat merupakan Nurani penting dalam penegakan hukum yang lebih humanis.
“Keadilan restoratif merupakan wujud nyata dari penegakan hukum yang humanis dan solutif. Dengan adanya kesepakatan damai antara pelaku dan korban, kita tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga menciptakan rekonsiliasi yang mendalam di tengah masyarakat. Ini adalah bentuk dari penegakan hukum yang mengedepankan hati nurani.”
Beliau juga menekankan bahwa pendekatan ini akan terus dikembangkan untuk kasus-kasus ringan guna memberikan manfaat lebih luas bagi masyarakat.
“Restorative Justice bukan sekadar penyelesaian perkara, tetapi juga sarana edukasi bagi masyarakat tentang pentingnya berdamai dan menjaga keharmonisan keluarga dan sosial.”
Perkara ini menjadi yang keenam di wilayah Kejaksaan Tinggi NTT yang dihentikan penuntutannya melalui mekanisme keadilan restoratif hingga Februari 2025. Penghentian penuntutan ini mencerminkan komitmen Kejaksaan Tinggi NTT dalam menegakkan hukum secara humanis, guna mewujudkan keadilan yang lebih inklusif di tengah masyarakat.*