DetikNTT.Com || Ende – Tulisan Dr. Andi Yuslim Patawari yang berjudul “Negara Lagi Lupa Bahwa Perut Nggak Bisa Dibohongi” merupakan refleksi tajam atas realitas sosial-ekonomi yang tengah melanda bangsa ini.
Esensi dari tulisan tersebut menyentuh akar persoalan mendasar: negara tidak bisa terus-menerus hadir hanya dalam bentuk pidato dan janji politik. Rakyat membutuhkan bukti nyata berupa kepastian hidup yang layak dan berkelanjutan.
Kebutuhan pokok seperti beras, minyak goreng, serta komoditas strategis lainnya harus dapat diakses dengan harga terjangkau.
Namun faktanya, jika kita mengarahkan pandangan ke wilayah timur Indonesia – khususnya Flores, Lembata, dan Alor di Provinsi Nusa Tenggara Timur – apa yang disuarakan oleh Dr. Patawari bukanlah retorika, melainkan realitas yang dialami sehari-hari oleh masyarakat di sana.
Harga kebutuhan pokok di wilayah-wilayah tersebut sering kali lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan lain di Indonesia. Ironisnya, hal ini tidak diimbangi dengan ketersediaan lapangan kerja yang memadai.
Akibatnya, gelombang migrasi tenaga kerja muda ke luar daerah, bahkan ke luar negeri, menjadi fenomena yang tidak terelakkan. Mereka terpaksa meninggalkan kampung halaman demi mencari penghidupan yang layak.
Padahal, potensi lokal di Flores, Lembata, dan Alor sangatlah menjanjikan. Sektor pertanian, perikanan, hingga pariwisata menyimpan kekuatan ekonomi yang besar.
Namun, keterbatasan akses terhadap permodalan, teknologi, serta pasar menghambat pertumbuhan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang seharusnya menjadi pilar utama ekonomi kerakyatan.
Sayangnya, kebijakan pembangunan sering kali lebih berpihak kepada investor besar, sementara rakyat kecil dibiarkan berjuang sendiri di tengah sistem yang timpang.
Ketimpangan akses terhadap layanan dasar juga masih nyata. Di pelosok desa, anak-anak harus menempuh jarak jauh untuk mengenyam pendidikan. Akses terhadap layanan kesehatan yang layak pun masih terbatas.
Sementara itu, para petani dan nelayan kesulitan meningkatkan produktivitas akibat minimnya infrastruktur dan rendahnya keberpihakan kebijakan.
Kondisi-kondisi tersebut tidak sekadar melahirkan keresahan, tetapi juga kegelisahan yang dalam di kalangan rakyat.
Mereka tidak sedang marah untuk menghancurkan, melainkan lapar, cemas, dan merasa diabaikan oleh negara yang seharusnya melindungi dan memberdayakan mereka.
Karena itu, solusi yang ditawarkan oleh Dr. Patawari patut diapresiasi dan diimplementasikan secara konkret.
Penciptaan lapangan kerja yang bermartabat, pembangunan iklim investasi yang sehat dan inklusif, penguatan UMKM sebagai motor penggerak ekonomi rakyat, serta pengurangan ketimpangan akses terhadap layanan publik adalah langkah-langkah strategis yang harus menjadi prioritas pembangunan, khususnya di wilayah-wilayah tertinggal.
Keadilan sosial sebagaimana tercantum dalam sila kelima Pancasila bukanlah sekadar jargon normatif, melainkan mandat konstitusional yang wajib diwujudkan oleh negara.
Pemikiran Dr. Andi Yuslim Patawari merepresentasikan kerinduan kolektif masyarakat Nusa Tenggara Timur, khususnya di Flores, Lembata, dan Alor: sebuah harapan akan Indonesia yang lebih adil, lebih manusiawi, dan sungguh berpihak pada rakyat kecil.
Salam Persatuan Indonesia.









